Efektifitas Kepemimpinan Dalam Mengelola Kerukunan Hidup Bersama
Salah satu yang sangat mencuri perhatian khalayak ramai adalah mengenai pemilihan kepala daerah di salah satu kota besar di Indonesia. Permasalahan terjadi ketika salah satu calon kepala daerah menanggapi persoalan SARA yang menghujam dirinya. Alhasil, komentar atau tanggapannya berujung pada pelecehan dan tersinggungnya pihak-pihak terkait. Indonesia yang terkenal dengan keberagaman ini mulai memunculkan konflik-konflik dengan dasar perbedaan. Padahal, negara ini ada dengan perbedaan-perbedaan yang menjadi satu.
Perbedaan dalam masyarakat memang hal sensitif yang dapat memunculkan konflik. Beberapa konflik tersebut dapat kita lihat di negera ini. Mulai dari konflik antar suku, antar agama, sesama agama tapi antar aliran, bahkan sesama aliran tapi beda pendapat. Inilah permasalahan yang sebenarnya perlu diselesaikan. Agama manapun tentu menyeru umatnya untuk hidup berdampingan, tetap berada dalam kedamaian dan kerukunan. Maka, jika konflik masih terjadi, kesimpulannya adalah sumber permasalahan berasal dari intoleran dalam diri masyarakat itu sendiri. Lalu bagaimana menyelesaikan masalah ini?
Dalam buku karya Usman Wijaya yang berjudul "Membangun Harmoni & Damai dalam Keberagaman dan Kemajemukan" menyebutkan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam proses pengelolaan kerukunan hidup bersama adalah faktor efektifitas kepemimpinan. Efektif tidaknya kepemimpinan merupakan cerminan untuk menyatakan hadir-tidaknya negara dalam memastikan terjaga dan terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Terdapat 3 kajian penting yang diutarakan oleh Usman Wijaya dalam efektifitas kepemimpinan, sebagimana berikut:
Pertama, Kepemimpinan sistem dan kepemimpinan oleh orang-orang pilihan dalam lapisan kepemimpinan demokratis. Indonesia pasca reformasi memerlukan konsolidasi sistemik dan sekaligus memberi tempat kepada para pemimpin yang dapat diharapkan memperbaiki keadaan.
Kedua, Indonesia butuh pemimpin, bukan pejabat. Pemimpin yang bertindak sebagai guru bangsa dan pemimpin yang melayani, bukan self-serving, pemimpin yang problem solving oriented, bukan yang menghindar dari masalah, apalagi pemimpin yang membuat masalah (problem maker). Maka dari itu, kita harus memilih pemimpin yang men gerti masalah bangsa dan negara, memahami sistem bernegara, mampu melakukan pembenahan, penataan, dan perbaikan sistem agar menjadi lebih baik, sanggup memastikan bahwa sistem itu efektif berjalan dan ditegakkan sebagaimana mestinya, dan sanggup menjadi contoh dan teladan untuk hidup dalam sistem tersebut.
Ketiga, Perlunya pendidikan kepemimpinan yang berorientasi problem solving di semua lapisan masyarakat, agar di semua lapisan masyarakat terbentuk sistem dan budaya kepemimpinan yang efektif. Belajarlah dari kasus-kasus bencana di tanah air. Banyak korban duduk-duduk menanti uluran bantuan dari atas. Atasan juga duduk menunggu perintah dan petunjuk dari atasannya lagi, dan begitulah seterusnya sampai semua orang menuntut pemimpin tertinggi untuk turun tangan. Akibatnya semua urusan dilimpahkan tanggungjawabnya kepada pemimpin tertinggi. Karena itulah, pemimpin tertinggi memang turun tangan, tetapi turun tangan sekedar untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia turun tangan dan menyelesaikan masalahnya dilapangan.